Kekayaan laut yang kita miliki bukan hanyalah sebagai
sumber kehidupan, lebih dari itu adalah sebuah alat penyeimbang. Dalam
kehidupan orang Mandar, khususnya yang bermukim di wilayah pesisir laut sudah
seperti rumah sendiri. Mereka menyebut laut dalam bahasa Mandar yaitu “Sasiq”. Sasiq ini bagi masyarakat Mandar dianggap sebagai kawasan
yang penuh dengan misteri. Karena laut sejatinya seperti dua sisi mata uang, di
satu sisi bisa menjadi sumber keberkahan tapi di sisi lain bisa menjadi
malapetaka.
Nelayan Mandar atau disebut sebagai “Posasiq” meyakini
bahwa laut memiliki keyakinan bahwa laut
memiliki kekuatan gaib. Mereka senantiasa menghormati laut demi kebaikan para
nelayan. Para pawang perahu atau "punggawa lopi" selalu mengingatkan
nelayan agar berhati-hati di laut sebagaimana bunyi ungkapan berikut “Mua
nasauwi tau dzi sasiq dipacoai pappinaqditta, dipacoai toi kedzokedzota,
daleqba mappapia anu mikkeallaq-allaq, battuanna anu andiang sitinaya
nadzipogau”, yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Kalau hendak melaut,
hendaknya membenahi diri, memperbaiki perilaku dan jangan melakukan perbuatan tercela di laut”.
Nasihat tersebut diwarisi dari ajaran yang diperoleh dari ulama-ulama
yangmemiliki pengaruh yang kuat serta dihormati dikalangan nelayan masyarakat
suku Mandar.
Bahkan proses konstruksi atau berkaitan dengan penebangan
pohon atau pembuatan perahu tidak dilakukan dengan sembarangan. Pada masa
konstruksi ini, dengan dipimpin oleh punggawa lopi didahului dengan pembacaan
barzanji dan dilanjutkan dengan doa yang biasanya dilakukan di rumah
masyarakat. Lalu kemudian dilanjutkan dengan penebangan pohon dan pembuatan
perahu. Sebelum menebang pohon ada doa yang diucapkan dalam bahasa Mandar dan
bahasa Arab, seperti contoh di bawah ini:
Suku Mandar memiliki banyak tradisi lisan diantaranya Kalindaqdaq
(pantun Mandar) yang biasa digunakan ketika melamar, khatam Quran,
bercengkrama, dan dahulu juga digunakan sebagai bahasa untuk menyampaikan hajat yang lain,
Sayyang Pattu’du (tradisi syukuran khatam Quran) yang dilakukan dalam bentuk
arakarakan keliling kampung dengan menggunakan seekor kuda menari di bawah
lantunan irama para pengiringnya. Mappandesasi (ritual sedekah laut) dan
Makkuliwa (ritual meluncurkan perahu baru), mantra, dan pembacaan cerita lisan
yang dapat berasal dari naskah Lontaraq atau dari sumber lisan, seperti cerita
asal-usul Toniseseq di Tingalor, Kail Emas, dan cerita lainnya.