Meneladani Masa Muda Sosok Hj. Andi Depu

Setiap tanggal 10 November selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan, bertepatan dengan itu pada tanggal 10 November 2018 seorang pahlawan dari Tanah Mandar yang dikenal dengan nama Ibu Agung Hj. Andi Depu diberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Indonesia Nomor: 123/TK/2018 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Sumber: 
Hj. Andi Depu lahir pada bulan Agustus 1908 di Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Beliau berasal dari keturunan bangsawan tinggi Mandar yang disebut Todziang Laiyyana (orang yang berdarah biru). Beliau adalah puteri dari seorang Raja (Maradia) Balanipa ke 50 bernama Lajju Kanna Idoro Tomate Ri Juddah yang artinya raja yang meninggal di Jeddah (Mekah) ketika sedang menunaikan ibadah haji.

Seperti lazimnya dengan anak bangsawan yang lain, apalagi beliau sebagai puteri satu-satunya maka seluruh kasih sayang tercurah kepada beliau, sehingga nama asli yang sesunggunya dimiliki oleh beliau sejak kecil sebagai anugerah dari Ibu dan Bapak yang mencintai beliau adalah Sugiranna Andi Sura yang merupakan panggilan kesayangan dari Ibu dan Bapak beliau. Semasa kecil beliau disapa dengan nama Mania sedang Depu adalah panggilan sehari-hari. Sejak kecil beliau telah mendapatpendidikan yang baik dalam istana, diasuh menurut adat istiadat dan budi pekerti seperti diajar sopan santun, cara menggunakan bahasa dengan baik, diajar cara menjamu tamu dan para pembesar kerajaan serta cara-cara bergaul dengan orang banyak di dalam upacara-upacara.

Begitu sangat disayanginya sehingga beliau baru bisa diperbolehkan keluar dari linkungan istana untuk bermain pada usia sebelas tahun, dan merasakan pergaulan diluar istana bersama dengan orang banyak. Dalam pergaulan beliau tidak pilih kasih dalam memilih teman bermain, memperlihatkan sifat-sifat yang baik dan terpuji sehingga beliau sangat disenangi dan disayangi oleh masyarakat disekelilingnya, jiwa kerakyatan dan kebangsawanannya yang tulen dari ayahnya telah nampak dimiliki oleh beliau. Demikian pula dengan kebiasaan-kebiasaan beliau yang menjelang usia remaja seperti suka memanjat-manjat, menunggang kuda, berpakaian seperti laki-laki, serta bersikap seperti laki-laki yang tegas dalam bertindak. Hal ini mungkin disebabkan karena pengaruh lingkungannya dimana semua saudaranya adalah laki-laki.

Dalam menjelang kedewasaannya sebagai lazimnya di Sulawesi Selatan dilakukan secara turun temurun melalui orang tua, nenek-nenek, inang pengasuh yang biasanya menghikayatkan sejarah kepahlawanan. Nenek-nenek mereka menceritakan kisah kepahlawanan dimana lazim dilakukan pada saat anak-anak sedang istirahat terutama menjelang tidur, sehingga jiwa semangat kepatriotan dapat ditanamkan kepada anak cucunya menghadapi penjajah Belanda secara berlanjut. 

Andi Depu hanya menyelesaikan pendidikannya pada tingkat Volkschool (sekolah rakyat) disebabkan kondisi masyarakat pada saat itu, yang tidak memungkinkan seorang perempuan memiliki kesempatan untuk merasakan pendidikan formal sama dengan anak laki-laki. Dikerajaan Balanipa pada waktu itu hanya satu sekolah Volkschool itupun hanya sampai kelas tiga. Kalau mau melanjutkan sekolah harus ke daerah lain, tetapi pada zaman itu tidak memungkinkan Andi Depu pergi melanjutkan pendidikan ketempat lain, karena pada saat itu belum ada sekolah Belanda (HIS) di daerah Mandar. Yang pernah beliau duduki di bidang pendidikan hanya sampai pada kelas tiga kemudian berhenti atas kemauan orang tuanya, hal ini merupakan tradisi yang dikenakan bagi anak perempuan pada masa penjajahan, yang menganggap tidak terlalu penting untuk menduduki bangku sekolah pada tingkat yang lebih tinggi.

Dengan dibatasinya pendidikan formal beliau dari orang tuanya, tidaklah berarti bahwa beliau tidak lagi keluar dari istana justru kesempatan ini digunakan untuk bergaul dengan puteri-puteri sebayanya diluar istana yang secara tidak langsung beliau telah dapat memperoleh pengalaman yang tidak pernah didapat di dalam istana mengenai masyarakat di luar istana, seperti halnya dengan keterampilan dalam menenun benang untuk dijadikan sarung Mandar, demikian pula dengan menganyam dimana pekerjaan seperti ini merupakan mata pencaharian sebagian masyarakat Mandar pada waktu itu dan hingga saat ini masih ada. Dari segi kesenian
beliaupun tidak ketinggalan mengambil bahagian dalam pementasan tari bersama dengan gadis sebayanya, apalagi beliau sebagai puteri yang diharuskan untuk mempelajarinya seperti tari Pattu’duq yang sering dipertunjukan dalam upacara- upacara adat kerajaan Mandar yang dimainkan oleh puteri bangsawan kerajaan.

Pendidikan Agama telah didapatkan beliau sejak kecil yang langsung ditanamkan oleh orang tuanya di dalam istana seperti dengan mengaji dan pada usia dua belas tahun beliau sudah menammatkan Al-Qur’an 30 juz, kemudian ditunjang dengan Ilmu Tajwid (sarabaca) yang bertujuan untuk mengetahui sebutan huruf-huruf hijaia dalam Al-Qur’an sehingga memfasihkan dalam membaca. Selain dari pelajaran mengaji beliau juga menerima pelajaran agama lewat Tabliqh dan ceramah-ceramah oleh para Alim Ulama serta Imam-imam Masjid, demikian pula dengan hikayat- hikayat dalam Al-Qur’an mengenai Nabi-nabi serta Rasul dan cerita-cerita keislaman.

Lebih baru Lebih lama