Siapa yang tidak kenal sosok beliau, yaitu K. H. Muhammad
Tahir yang sering disebut Imam Lapeo bagi masyarat di Sulawesi Barat. Pada masa
kanak-kanaknya, oleh orang tuanya memberikan nama kepada Imam Lapeo yaitu
Junaihim Namli. Sejak kecil ia dikenal masyarakat sebagai anak yang patuh dan
taat kepada oran tua, beliau dikenal jujur, pemberani, dan punya kemauan yang
sanga keras.
K. H. Muhammad Tahir Iman Lapeo berlatar belakang keluarga
yang taat beragama. Bapaknya bernama Muhammad bin Haji Abdul Karim Abtalahi,
disamping bekerja sebagai petani dan nelayan, juga menjadi guru mengaji Al
Quran. Guru mengaji handal yang diwariskan oleh nenek K. H. Muhammad Iman Lapeo
yaitu H. Abd. Karim Abtallahi (juga populer dengan nama Nugo kepada anaknya,
Muhammad). Nenek Iman Lapeo salah seorang penghafal Quran yang terkenal
dizamannya. Istrinya bernama St. Rajiah, yang menurut silsilah keturunannya
berasal dari keturunan Hadat Tenggelang (Tenggelang, suatu daerah yang
berstatus distrik dalam wilayah pemerintahan swapraja Balanipa dahulu, sekarang
termasuk pemerintahan wilayah Kecamatan Campalagian).
Latar belakang yang taat beragama inilah yang sangat
berpengaruh dalam proses perkambangan jiwa K. H. Muhammad Tahir Imam Lapeo dan
mewarnai kehidupannya sejak beliau kanak-kanak. Sebagai seorang anak nelayan ia
telah terbiasa dengan arus dan gelombang laut ketika menemani ayahnya mencari
ikan. Tidak mengherankan sejak umur 15 tahun beliau telah berani mengikuti
pamannya Haji Bukhari ke Padang, Sumatera Barat berdagang lipa’ sa’be (sarung
sutra).
Pada umur 27 tahun Muhammad Tahir dikawinkan oleh gurunya
Sayid Alwi Jamalullil bin Sahil (seorang ulama besar dari Yaman) dengan seorang
gadis bernama Nagaiyah (kemudian berganti nama menjadi Rugayah). Pada
perkawinan inilah nama Junahim Namli diganti oleh gurunya (Sayid Alwi) menjadi
Muhammad Thahir, nama yang dikenal sampai sekarang.
Di bidang pendidikan, pendidikan formalnya tidak menonjol.
Dalam mengikuti pendidikan non-formal ia lebih tertarik pada
pelajaran-pelajaran agama Islam. Di usia kanak-kanaknya Junahim Namli telah
khatam Al Quran beberapa kali melampaui teman-teman sebayanya.
Menjelang usia remaja, ia lebih memperdalam bahasa Arab
seperti nahwu syaraf di Pambusuang. Lalu dia pergi ke Pulau Salemo (masa itu
sangat terkenal sebagai tempat pendidikan pesantren yang melahirkan para ulama
di bawah bimbingan ulama besar dari Gresik, Jawa Timur) menimba dan menambah
ilmu-ilmu agama Islam. Beberapa tahun ia tinggal disalemo. Kemudian ia pergi ke
Padang, Sumatra Barat dan tinggal selama 4 tahun menambah ilmu. Sesudah itu
melanjutkan perjalanannya ke Mekah menuntut ilmu agama, mendatangi ulama besar
memperdalam ilmu fikih, tafsir, hadits, teologi dan lain-lain. Ia tinggal di
Mekah beberapa tahun lamanya. Dalam perjalanan K.H. Muhammad Tahir Iman Lapeo
mengembangkan dakwah Islam, ia telah melakukan perkawinan sebanyak enam kali.
Perkawinan ini didasarkan kepada kesadaran K. H. Tahir Imam Lapeo bahwa kawin
dengan bersandarkan syariat Islam adalah merupakan strategi dakwah yang sangat
efektif dalam mengenbangkan dan atau menyebarkan agama Islam. Hal itu ditandai
dengan kenyataan, beberapa istrinya berasal dari keluarga elit dalam masyarakat
Mandar dizamannya yang dianggap sangat bisa menunjang perjuangan dakwahnya.
Istri pertama bernama Rugaya melahirkan keturunan 8 anak
yaitu: St. Fatima, St. Hadiyah, Muhammad Yamin, Abd. Hamin, Muhammad Muchsin,
St. Aisyah, St. Marhumah.Istri kedua, Sitti Khalifah, tidak melahirkan
keturunan. Istri ketiga Sitti Khadijah, melahirkan satu orang anak yaitu
Najamuddin, dan yang istri keempat Sitti Attariah, tidak melahirkan anak.
Keempat istrinya itu adalah putri-putri tokoh masyarakat.
Dalam meluncurkan visi misi dakwah ke daerah Mamuju ia
diangkat menjadi Kali ‘Kadi’ Kerajaan Tappalang (sekarang dalam wilaya
Kecamatan Tappalang, Kabupaten Mamuju). Di Mamuju K. H. Muhammad Tahir Imam
Lapeo mengawini seorang putri sayid yang bernama Syarifah Hamidah tetapi tidak
melahirkan keturunan. Pada perkawinan yang terakhir dengan Sitti Amirah
melahirkan empat orang anak yaitu Abdul Muttalib, Siti Ssabannur, Siti Asiah
dan Siti Aminah.Putra-putri K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo sebagian besar
melanjutkan usaha bapaknya mengabdi untuk kepentingan agama Islam. Salah
seorang putrinya yang bernama Hj. Aisyah Tahir, populer dengan panggilan Ummi
Aisyah, adalah tokoh wanita Sulawesi Selatan pernah memimpin Muslimat Nahdatul
Ulama, yang menjelang akhir hayatnya Ummi Aisyah dikenal sebagai wanita yang
memiliki kemampuan metafisik yang lebih.
K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo menghembuskan nafas
terakhir dengan tenang dalam usia 114 tahun, pada hari Selasa 27 Ramadhan 1362
H. Bertepatan tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah kecamatan
Campalagian, kabupaten Polewali Mandar). Dimakamkan di halaman mesjid Nur
Al-Taubah di Lapeo (mesjid yang di kawasan Mandar dikenal juga dengan sebutan
Masigi Lapeo ‘Mesjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya).
Makam K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo sampai sekarang
banyak dikunjungi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah Mandar, dan
daerah-daerah lain dari luar Mandar.K. H Muhammad Thahir Imam Lapeo terkenal
juga dengan gelar To Salamaq Imam Lapeo.Dalam bidang tasawuf dan tarekat, K. H.
Muhammad Thahir Imam Lapeo mengacu kepada tasawuf dan tarekat Syadziliah.