Tradisi Mammunuq (Maulid Nabi) di Tanah Mandar

Petingnya sebuah perayaan ditandai dengan adanya pesan yang ingin disampaikan dan dikenang oleh yang merayakan. Sebuah perayaan merupakan ikhtiar yang dilakukan untuk mengenang masa lalu yang berharga. Masa lalu menjadi moment penting dalam hidup bagi yang mengalaminya namun moment penting nan berharga ini perlahan-lahan lenyap hingga tak dikenal lagi sebelum nilai-nilai pembelajaran yang terkandung dalam moment berharga tersebut tersampaikan ke anak cucu mereka.

Berdasarkan pada ilustrasi di atas menunjukkan betapa penting sebuah kata perayaan. Karena perayaan adalah media untuk kembali meloncingkan rentetan sejarah demi mengetahui dan membentuk jati diri mereka, jati diri suatu bangsa, serta mengumpulkan keping-keping harapan yang pernah hancur. Demikian halnya dengan perayaan mammunuq atau Maulid Nabi Muhammad saw. di Tanah Mandar.

Maulid Nabi Muhammad SAW atau akrab dikenal dengan sebutan Mammunuq oleh masyarakat Mandar merupakan sebuah tradisi yang bernuansa Islam. Tradisi mammunuq ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengenang kisah-kisah teladan Nabi Muhammad SAW dalam memperjuangkan agama Allah.

Tradisi Maulid Nabi telah lama dikenal oleh masyarakat muslim seantero jagat raya. Maulid Nabi Muhammad SAW telah dilaksanakan sebelum Islam masuk ke tanah Mandar. Maulid bukanlah sebuah tradisi yang lahir bagaikan anak kemarin sore. Tetapi lebih dari seribu tahun Maulid Nabi telah menjadi perayaan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW serta bukanlah sebuah perdebatan yang dimulai sejak tiga ratus tahun silam. Hingga akhirnya para sarjana dan pemuka muslim klasik mendukung tradisi dan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Tiga perayaan besar terjadi karena akulturasi besar-besaran pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yakni perayaan awal tahun (Nairuz), perayaan akhir tahun (Mahrajan), dan Ram. Ketiga perayaan ini dilakukan oleh bangsa persia dengan cara berbagi hadiah, makanan dan pakaian. Dengan keadaan demikian, perayaan ini kemudian menjadi inspirasi bagi ummat Islam atas ide Khaizuran pada masa Abbasiyah. 

Dalam buku Ahmad Tsauri  yang berjudul Sejarah Maulid Nabi Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan Sejak Khaizuran (173 H) Hingga Habib Luthfi Bin Yahya (1947 M - Sekarang) mengatakan bahwa Khaizuran adalah seorang wanita sholeha yang sangat meneladani Rasulullah SAW. Khaizuran merupakan Istri dari Khalifa Al-Mahdi Bin Mansur Al-Abbas (khalifa Dinasti Abbasiyah) yang berinisiatif dan menginstruksikan perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW di Madinah dan Mekah pada masa pemerintahan Musa Al-Hadi (putranya). 

Pada masa pemerintahan Musa Al-Hadi, Khaizuran memerintahkan penduduk Madinah dan Mekah untuk melaksanakan maulid nabi agar ummat Islam tidak ikut melaksanakan perayaan Nairuz dan Mahrajan karena kedua perayaan tersebut merupakan perayaan non-muslim yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Perayaan ini telah dilakukan selama tiga tahun sebelum Khaizuran wafat pada tahun 173 H.   

Dalam perjalanan penyebaran agama Islam, salah seorang sejarawan Islam, Khalid Abdul Karim  mengatakan bahwa gagasan yang menarik tentang syariat Islam adalah bahwa hampir sebagian besar ajaran syariat Islam sudah memiliki akar historisnya di tanah Arab. Ibadah haji, shalat, penghargaan terhadap bulan tertentu dengan berpuasa bahkan beberapa bentuk Hudud dan Jinayat ternyata telah ada dalam tradisi masyarakat pra-Islam. Hal demikian menunjukkan bahwa inilah kenyataan sejarah yang apabila Islam ingin dikembangkan harus mengalami pergumulan sejarah dengan kultur setempat.


Seperti halnya seorang wali dari wali songo yakni Sunan Kalijaga (1443) menyampaikan Islam dengan pewayangannya. Abdurrahman Kamaluddin, Abdul Mannan, dan K.H Muhammad Tahir (Tosalamaq Imam Lapeo) adalah pemuka agama Islam di daerah Mandar. Dalam melakukan penyebaran agama Islam mereka tidak mengenyampingkan tradisi sepanjang bukan yang bersifat akidah. Mereka justru merangkul tradisi kebudayaan dan mendialogkannya dengan ajaran agama. Demikian halnya dengan tradisi Mammunuq di Tanah Mandar.

Mammunuq merupakan warisan leluhur Mandar yang menjadi salah satu media atau sarana dalam Islamisasi masyarakat Mandar. Menurut Ustadz Muhasib, S.Pd.I, “Perayaan Maulid Nabi atau Pammunuang dianggap sebagai pauli kappung atau pauli pa'banua”. Maksud dari ungkapan tersebut adalah masyarakat percaya bahwa dengan melaksanakan perayaan Mammunuq di sebuah kampung maka kampung tersebut akan mendapat keberkahan dari Allah SWT.

Tradisi mammunuq di Tanah Mandar memuat beberapa rangkaian acara mulai dari persiapan tiriq dan bukkaweng, ma'barasanji (berzdikir bersama), marattas baca, hingga puncak acara festival arak-arakan atau pappatammaq yang memuat beberapa komponen diantaranya adalah sayyang pattuqdduq (kuda menari), parrawana (permainan group rebana), pakkalindaqdaq, totammaq, pessawe/pesaiyyang, pallaqlangngi (pembawa payung), pesarung (penjaga). Festival pappatammaq inilah yang menjadi ikon dari pelaksanaan tradisi Mammunuq atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Tanah Mandar.

Kontributor: Murni
أحدث أقدم