Tidak lama lagi kita akan memasuki bulan Muharram atau
sering disebut tahun baru Islam. Pada bulan Muharram di kampung saya banyak mengadakan acara syukuran. Warga
kampung akan membawa beberapa makanan dan minuman khas daerah kami seperti
Ule’-ule’ (bubur kacang hijau), sokkol, dan bolu paranggi.
Namun pada postingan kali ini saya hanya akan membahas
tentang makanan khas dari daerah saya sendiri yaitu Ule’-ule’ (bubur kacang hijau). Secara umum
tidak ada perbedaan antara ule-ule dengan bubur kacang hijau lainnya, namun
pada bahan yang digunakan ule-ule ada penambahan “tarreang”.
Tanaman “tarreang” merupakan tanaman dari keluarga suku
rumput-rumputan (Poaceae) yang berkerabat dengan padi, namun yang
membedakannya adalah bentuk buah yang bulir dan bulat. Tanaman satu ini adalah
sumber karbohidrat utama pada zaman dahulu di daerah saya.
Lanjut dari ule-ule itu sendiri, makanan satu ini terbuat
dari golla mamea (gula merah), Satta (santan), bue (Kacang hijau), dan tarreng
(kadang kala diganti dengan beras). Ule-ule merupakan makanan yang menjadi
favorit saya, rasanya yang manis dan lebih lagi memiliki kandungan gizi yang
baik.
Bukan hanya itu, selain lebih bergizi, makanan-makanan lokal
kita memiliki makna atau simbol di balik penggunaannya. Alias tidak asal buat
untuk kemudian dihidangkan. Misalnya di bulan Muharram, bulan yang mana
“tarreang” laku keras, selalu dibuat “ule-uleq” atau bubur. Paling banter bubur
kacang hijau dan bubur jawawut. Mengapa dibuat “ule-uleq”? Ada dua alasan,
pertama rasanya yang manis, kedua namanya itu adalah pengharapan, agar rezeki
selalu ikut (kata “uleq” berarti ikut).
Tags:
Kuliner