Musik tradisional rebana atau parrawana merupakan salah satu warisan budaya yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Mandar, Sulawesi Barat. Secara historis, tradisi parrawana awalnya didominasi oleh kaum laki-laki. Kelompok parrawana laki-laki, yang dikenal sebagai parrawana tommuane, menyuguhkan irama dan syair yang khas dengan energi maskulin. Namun, perubahan signifikan dalam tradisi ini terjadi ketika Mak Cammana, seorang seniman wanita, memperkenalkan kelompok parrawana towaine yang terdiri dari perempuan-perempuan mahir dalam seni rebana.
Keberadaan parrawana towaine bukan hanya menantang norma-norma gender dalam kesenian tradisional, tetapi juga memperkaya tradisi musik parrawana. Kelompok wanita ini, biasanya terdiri dari empat hingga tujuh pemain, tampil dalam berbagai acara seperti pesta pernikahan, upacara keagamaan, dan pertemuan budaya. Mak Cammana, melalui kelompok Sohibu Baiti yang ia dirikan, menciptakan syair-syair yang memiliki makna mendalam dan ritme rebana yang khas. Keunikan karya Mak Cammana terletak pada pesan dakwah yang tersirat dalam syairnya serta tabuhan rebana yang menjadi identitas kelompok ini (Raji, 2024).
Dalam konteks sosial dan budaya, parrawana towaine tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi juga alat penyampai pesan moral dan keagamaan. Sebagaimana diteliti oleh Raji (2024), syair-syair dalam parrawana towaine memuat nilai-nilai spiritual yang disampaikan dengan cara yang estetis dan mudah diterima masyarakat. Hal ini menjadikan parrawana towaine sebagai medium dakwah yang efektif.
Keberadaan kelompok seperti Sohibu Baiti di Kecamatan Limboro menunjukkan bagaimana seni tradisional dapat menjadi wadah pemberdayaan perempuan dalam budaya Mandar. Fikriyah, Ihsan, dan Yatim (2023) menyoroti eksistensi kelompok ini sebagai bagian penting dari pelestarian seni pertunjukan lokal, sekaligus sebagai bentuk transformasi sosial dalam masyarakat.
Secara keseluruhan, parrawana towaine merupakan representasi dinamis dari tradisi yang tidak hanya berakar pada sejarah, tetapi juga beradaptasi dengan kebutuhan dan perubahan zaman. Kehadiran Mak Cammana dan kelompok Sohibu Baiti tidak hanya melestarikan seni rebana, tetapi juga menciptakan ruang baru bagi perempuan untuk berkontribusi dalam ranah seni dan budaya di Mandar.